Gender di China

January 18, 2008 at 12:25 pm 1 comment

Dengan jumlah penduduk lebih dari 1 miliar orang, China pun masih menghadapi masalah kependudukan lain, yakni kelebihan jumlah anak laki-laki. Berdasarkan sensus terbaru, rasio anak laki-laki dan perempuan di Negeri Panda adalah 120:100. Angka ini menunjukkan ketidakseimbangan populasi terbesar di dunia. Seiring fenomena ini, berbagai masalah sosial pun mengintai Negeri Tirai Bambu.

Huang Ying, Dosen Jurusan Seksual dan Gender di Universitas Renmin, Beijing mengatakan, masalah ini dipicu keyakinan China bahwa anak laki memiliki status sosial lebih tinggi ketimbang anak perempuan.

“Tak bisa dipungkiri, fenomena sosial ini terkait dengan budaya masyarakat. Orang China masih berpikir anak laki-laki akan menjadi tulang punggung bagi keluarga dan menjaga orang tua kala tua. Karena anak perempuan akan ikut dengan suaminya bila dia menikah,” kata Huang.

Sayangnya, Huang menambahkan, mereka tidak berpikir bahwa di masa depan anak laki-laki itu membutuhkan seorang perempuan untuk dinikahi. Dengan demikian, menurut Huang, peningkatan jumlah pekerja industri seks di China menjadi salah satu ancaman terbesar. Prostitusi dan perdagaan perempuan juga diperkirakan akan bertambah di wilayah-wilayah dengan jumlah bujangan tinggi.

Fenomena ketidakseimbangan penduduk ini sebenarnya berkaitan erat dengan ledakan penduduk di negeri itu. Untuk memecahkan masalah populasi, China membuat kebijakan satu anak pada awal 1980an. Sejak 1982 pemerintah juga membagikan mesin ultrasono di seluruh pelosok negeri.

Namun kebijakan ini membuat masalah baru. Pasalnya para orang tua berupaya meyakinkan bahwa janin bayi harus berjenis kelamin laki-laki. Mereka pun menggunakan mesin itu mengecek jenis kelamin jabang bayi. Bila mengetahui jenis kelamin jabang bayi adalah perempuan, tak jarang pasangan suami istri di China memilih untuk mengaborsinya. Menurut data kelompok konservatif, akibatnya sekitar 80 juta bayi perempuan diaborsi selama 20 tahun kebijakan satu anak diterapkan.

Maka tak heran bila sekolah-sekolah dasar di China kini dipenuhi anak laki-laki. Seperti di salah satu sekolah dasar di Provinsi Jiangxi, selatan China. Jumlah anak perempuan di sekolah tersebut sedikit. Di sekolah yang memiliki 7.000 siswa itu, rasio anak perempuan dan laki-laki adalah 100: 150.

Kebijakan satu anak kini telah berusia 25 tahun. Dengan demikian, terdapat 40 juta laki-laki yang lahir selama kebijakan tersebut dimulai. Maka diperkirakan pula 40 juta laki-laki itu akan menjalankan hidup mereka sebagai bujangan.

Pemerintah telah berupaya untuk menanggulangi peningkatan angko aborsi ini. Zhao Baige, Wakil Menteri Badan Perencanaan Keluarga sudah mengeluarkan larangan penggunaan mesin ultrasono untuk mengecek jenis kelamin jabang bayi.

“Tindakan itu melanggar hukum,” kata Zhao kepada CBS.

Perempuan hamil masih bisa memimiliki ultrasono, namun bila dianggap dibutuhkan untuk kepentingan medis. Untuk menjamin bahwa jenis kelamin jabang bayi tidak ketahuan, dua dokter akan didatangkan selama penggunaan alat itu. Proses itu juga akan direkam. Bila dokter itu ketahuan memberi tahu jenis kelamin bayi maka mereka akan dipecat.

Sayangnya kebijakan pemerintah China ini tidak efektif. Pasalnya mesin ultrasono dijual bebas dengan harga sekitar US$360 (Rp3,2 juta) di toko-toko gelap. Ukuran mesin yang tidak terlalu besar juga membuat benda ini sangat mudah disembunyikan baik di dalam mobil atau di kamar mandi. Inilah yang akhirnya menyebabkan tingkat aborsi terus tinggi.

Beberapa waktu lalu, seorang polisi menangkap seorang perempuan yang tengah menggunakan mesin tersebut di dalam mobilnya.

Menurut Valerie Hudson, pakar ilmu politik, fenomena China ini juga diprediksi akan meningkatkan angka kriminalitas.

“Saat terdapat ketidakseimbangan antara jumlah penduduk laki-laki dan perempuan maka akan terjadi peningkatan jumlah kriminalitas dan instabilitas sosial,” kata Hudson pakar ilmu politik dari Univeritas Brigham Young University yang menulis buku Surplus Laki-laki Asia.

Hal ini diamini oleh Zhao Baige. Dia mengakui China memang telah merasakan tuah dari ketidakstabilan jumlah penduduk. Sejak beberapa tahun belakangan, terdapat fenomena perdagangan anak perempuan. Banyak bayi atau anak perempuan dijual dan kemudian dibesarkan untuk dijadikan istri.

“Belum lama ini, polisi China menemukan satu tas besar berisi 28 anak bayi perempuan, berusia dua hingga lima bulan di rak atas bus. Bayi-bayi lucu itu dijual oleh keluarga mereka senilai US$8 (Rp80.000) per bayi,” kata Hudson.

Menurut Hudson, mereka dijual kepada keluarga yang akan mengasuh mereka. Kelak dewasa, dia akan dinikahkan dengan anak laki-laki keluarga tersebut.

Sedangkan anak perempuan yang lebih dewasa diculik dan dijual kepada laki-laki yang hendak menikah.

Oleh karena itu saat ini pemerintah tengah melakukan kampanye anak perempuan. Mereka membuat reklame di jalanan-jalan yang menuliskan bahwa anak laki-laki lebih hebat dari anak perempuan adalah sebuah paradigma lama. Pemerintah juga telah mengurangi biaya sekolah bagi anak perempuan serta mengubah hukum waris bagi anak perempuan.

Pemerintah juga akan memberikan uang tunai bagi orang tua yang memiliki anak perempuan. Setelah berusia 60 tahun, pemerintah akan memberikan uang sebesar US$150 (Rp1,3 juta) per tahun.”Bukan gaji, hanya insentif,” kata Zhao.

Rizky Andriati Pohan

Entry filed under: Penduduk.

Sungai Jakarta Masih Bisa Dijernihkan 1000 Kisah Jawa di Ullen Sentalu

1 Comment Add your own

  • 1. ara  |  February 6, 2010 at 2:37 am

    saya sudah menbaca tulisan andasejauh ini saya sanga tertarik moga tulisan anda bisa membantu saya dalam menyusun skripsi yang berkaitan dengan gender dalam budaya masyarakat tionghoa,,,,,,,,

    moga tulisanya bisa d perbanyak lagi,,
    terimaksih,,,,,,

    Reply

Leave a comment

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


Categories

January 2008
M T W T F S S
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
28293031